8 November 2006
Pintu kamar masih tertutup rapat dengan ganjal pintu yang terjerat dalam jepitan itu. Pagi masih membuta dengan sinar yang tak tampak dalam jendela kamarku. Suara-suara angin pagi membangunkanku dari mimpi panjang tadi malam, tak lupa juga derik binatang-binatang kecil berbisik di telingaku.
Seorang gadis kecil hampir berusia tiga tahun, dengan jelitanya menyapa hari pagiku dengan ceria. Ini awal cerita sebuah nyanyian panjang didendangkan oleh keluarga kami.
“selamat ulang tahun ka..” adikku yang manis menyapa pagi itu dengan merdunya.
“eh, ade.. sudah bangun? Terimakasih ya…” kusambut mentari kecil itu.
Pagi yang masih menggoyangkan tubuhku, terus berubah dan beranjaklah mentari menampakkan dirinya di depan mataku. Halaman rumah yang dikelilingi bambu itu masih basah, daun-daun yang bergerak lembut meneteskan embun yang mereka buat tadi malam. Segeralah aku menyambut usia baruku, secangir teh hangat dengan hidangan menu spesial buatan ibuku sudah rapih berbaris di meja makan.
Delapan hari lagi usia mentari kecil itu akan bertambah, gadis mungil dan lucu penuh kejutan dalam keluargaku berusia tiga tahun. Adikku adalah semangat bagiku untuk menempuh pelajaran hari ini yang begitu melelahkan. Ayah yang masih saja tersenyum dengan kopi hitam dan koran di tangannya mengantarkanku ke sekolah. Di jalan, ayah selalu tertawa, entah kenapa hari ini sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Nyanyian gembira sudah didendangkan pada pagi ini.
Pinus-pinus yang berdiri rapih di tepian jalan menemani ayahku bernyanyi. Suara kendaraan-kendaraan lain pun melengkapi hariku dengan penuh melodi. Setengah jam aku menekuni hayalanku, tidak aku sadari di depan sudah banyak teman-temanku yang melewati gerbang sekolahku. Bangku-bangku yang mulai tak kokoh lagi, melengkapi setiap sudut ruang kelasku. Teman-temanku dengan riangnya menyapaku dan senyum-senyum manis mereka memberikan arti lain dalam hariku ini.
“Maula... selamat ulang tahun....” serentak mereka sapa diriku di pagi ini.
Aku masih duduk dibangku SMP, kelas delapan B ialah kelas yang banyak menyimpan kenangan-kenangan manis kami semua. Ku lampaui hari ini dengan berbeda, bel sekolah sudah membubarkan seluruh siswa sekolah ini. Aku ingin cepat-cepat pulang dan kembali bermain dengan mentari kecilku.
Tangan halus ku pegang erat dalam jari-jemariku dan kucium helaian tang ibuku itu. Adikku yang masih tertidur pulas dalam ranjang kecilnya itu tiba-tiba terbangun karena suaraku. Bagiku ia adalah gadis kecil yang pintar, bahkan mampu melebihi kepintaranku. Dengan bahasanya yang masih sedikit meraba, ia mencoba mempelajari kata-kata baru dalam ingatanya itu. Walaupun ia baru bisa berkata ayah, ibu dan kakak, tapi ia mengerti sesuatu tentang kasih sayang orang lain kepadanya.
Malam ini aku sedikit lelah, entak kenapa perlahan tubuhku memanas. Pagi hari aku tak sanggup untuk menyambut mentari, hanya mampu berbaring dalam ranjang. Empat hari aku demam, lalu ayahku membawaku ke rumah sakit, ternyata aku terkena deman berdarah. Ayahku yang sedikit khawatir namun pada hari kelima, dokter telah memperbolehkanku utnuk pulang ke rumah. rasa itu sudah tidak bergentayangan dalam perasaan ayahku. Kelegan dan keceriaan kembali menghias rumah menjadi penuh pesona.
Tiga hari lagi adikku satu-satunya akan berulang tahun, ayahku sudah mempersiapkannya lebih dari apa yang telah ku persiapkan. Walau masih lemas, ku coba untuk membuatkan sebuah hal yang suatu saat menjadi kenangan dariku. Gantungan boneka kecil yang tersenyum, semoga mampu mebuat adikku selalu tersenyum walau tanpaku. Ayah dan ibu sudah tak mengkhawatirkan kesehatanku lagi. Hari keenam aku sudah pulih betul, entah kenapa dirumah sakit dan dirumah jauh menyenangkan tinggal dirumah. Mungkin dirumah aku bisa bermain dengan adikku yang manis itu.
Esok adalah hari ulang tahun adikku, makanan-makanan kecil baru saja dibeli oleh ibuku di pasar. Besok malam akan ada syukuran atas kesembuhanku dan hari ulang tahun adikku. Semua sudah disiapkan, dan kami semua siap untuk menyambut hari esok dengan penuh ceria. Mentari kecil itu sudah menganyam bulu matanya, tidur dengan pulas disamping ibuku. Sungguh hari ini begitu melelahkan, tak dapat kubayangkan bagaimana esok aku dapat menyambutnya.
Pagi sudah datang bersama sekawanan awan yang mencerahkan hari ini. Setelah pulang sekolah, aku ingin cepat-cepat pulang dan membantu ibuku mempersiapkan acara syukuran nanti malam. Piring-piring sudah rapih menumpuk di meja dapur, makanan kecilpun sudah siap dihidangkan setelah acara syukuran selesai. Adikku yang mencoba memahami kejadian besejarah dalam hidupnya itu. Bingung dalam lamunannya, diam dalam keramaian orang satu-persatu datang dan duduk mengisi setiap celah yang mampu dihuni.
Acara syukuran malam ini akan dimulai, setelah shalat isya para teman ayahku datang kemari dan bersama-sama mengikuti acara ini sampai selesai. Malam ini sungguh menyenangkan dalam hidupku dibanding sebelum-sebelumnya. Malam hampir larut, aku dan adikku masih menemani ayah dan tamunya bercakap dengan gembiranya. Kurasakan ada sesuatu yang berbeda di esok hari. Dinginnya malam ini hampir menusuk tulang-tulangku dan kuurungkan niatku untuk menemani ayahku sampai malam.
Pagi hari ini memang berbeda, biasanya kulihat mentari kecil menemaniku dalam setiap pagi. Hari ini sikecil masih tertidur dengan pulasnya dan tak kusadari kalau adikku sedang demam. Ingin ku cepat-cepat pulang sekolah, karena ada sesuatu yang mengganjal dihari ini. Sedang asyik ku belajar, pamanku datang dan memanggilku namun ada sesuatu yang ia tutupi dariku. Paman bingung entah apa yang harus ia katakan padaku lalu ia menyuruhku untuk kembali kekelas. Hampir dari keluargaku ke sekolah secara bergantian, dan aku pun izin pulang ditengah pelajaran. Paman hanya terdiam disaat aku menanyakan apa yang sesungguhnya terjadi.
Lorong-lorong kecil rumah sakit, mengantarku menuju kamar dimana adikku dirawat. Pak dokter keluar dan menepuk pundak ayahku, sampai saat itu aku belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Kulihat ibu yang menahan tangis namun airmata memaksa keluar dan menetes di wajah ibuku. Ayah yang semakin tertunduk belum menceritakan apa yang terjadi, dibalik kacamatanya yang besar itu ayah menyembunyikan air mata yang menggenang di pipinya. Paman baru berkata kepadaku namun hanya sedikit kata.
“jangan disesali, adikmu sudah tertidur pulas..” paman mengelus pundaku.
Aku berlari dan membuka selimut adikku, kulihat pucat terpejam, dingin, bisu. Kutahan tangis hari ini, namun tak kuasa menahan semua duka ini. Adik yang ceria kini hanya tersenyum bisu tak mampu melihat kami semua menangisinya. Ingin ku teriak dan berlari bebas menghilangkan semua ini namun tak berdaya.
Gundukan tanah merah bernisan pucat kulihat sunyi di dalam sana.
Ummu Uswatun Hanafiah
Lahir 16 November 2003
Wafat 18 November 2006
Ayah meneteskan air matanya diatas tempat tidur adikku yang terakhir. Bunga-bunga merah bertabur diatas tanah itu. Ibu hanya mampu menangis. Aku tak tahu apa yang dapat aku perbuat, entah nyanyian apa yang telah berjalan sampai saat ini. Gantungan kecil yang kubuat untuk adikku kini kutaruh disebelah nisannya. Tawanya yang ceria, kini terbenam dalam tangis kami, tak ada yang tegar menghadapi ini semua. Adik kecil yang riang sudah pergi mendahului kami semua, pergi untuk selamanya. Kukenang nama itu dalam memori kasih sayang dihatiku dik.
Satu minggu ayah masih saja menyanyikan elegi sepanjang hari. Termenung, belum mampu melupakan itu semua. Ibu mencoba untuk melupakan itu semua namun ketika melihat foto adikku, ibu mengingatnya dan menangis. Nyanyian duka masih didendangkan dalam kehidupanku, entah apa yang mampu melupakan segalanya.
“Ayah, ibu jangan menangis!! Masih ada aku disini...”.